Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Nenek 31 Cucu Tinggal di Gubuk Dikepung Gedung Bertingkat


Malang nian nasib Barneh,78. Sejak remaja harus banting tulang demi membantu orangtua. Begitu menikah, langsung ‘putar otak’ dengan ikut bertanggungjawab membantu suami yang berturut-turut lahirlah 10 anak.
Namun ironisnya justru di sisa hidupnya, nenek 31 cucu dan 12 buyut ini tersia-siakan. Sejak setahun, perempuan sepuh dan sakit-sakitan ini terpaksa tinggal di gubuk triplek berukuran 1×3 meter persegi. Itupun gubuknya ‘nangkring’ di atas saluran air akibat makin sulitnya lahan di RT 02/04 Kelurahan Karet Semanggi, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan.
Kondisi Barneh ini sangat kontras mengingat kawasan tempat tinggalnya yang merupakan segi tiga emas Ibukota dengan maraknya gedung bertingkat tinggi mulai perkantoran, pusat perbelanjaan, apartemen hingga hotel bintang lima. Huniannya sekarang seakan dikepung gedung-gedung bertingkat di kawasan itu.
Sebelum suami wafat tahun 1996, Barneh yang hanya mengenyam pendidikan Sekolah Rakyat (SR) tapi tak tamat, sehari-harinya membantu suami dengan berjualan seperti ketupat sayur di lingkungan setempat.


“Namanya saja dagang kecil-kecilan jadi untungnya juga gak seberapa, yang penting anak-anak bisa makan dan sekolah walau sanggupnya hanya SMP,” kenangnya getir saat ditemui di gubuk kayunya yang tercium bau menyengat dari comberan di bawahnya.
Karena anak banyak maklum 10 orang, seberapun yang didapat Barneh dan suami, toh sangat minim untuk menutupi biaya kehidupan sehari-hari. Alhasil meski warga kelahiran Karet Semanggi, tapi seumur-seumur pasangan ini tak sanggup memiliki rumah layaknya pasangan rumah tangga lainnya.
“Bagaimana sanggup beli rumah meski sekelas gubuk, untuk nutupi biaya sehari-hari saja sudah kerepotan,” timpal perempuan bertubuh kurus dan sebagian giginya ompong.
Hidupnya sekeluarga makin melarat saat suami wafat. Sebagian anak yang sekolah terpaksa kandas pendidikannya karena tak ada biaya. Ia pun dituntut harus kerja lebih keras lagi agar anak-anaknya bisa tetap makan dan bertahan hidup di Jakarta.
Tapi tak bisa dipungkiri, usia yang terus menanjak membuat kemampuan fisiknya untuk berdagang juga melorot. Selain itu pesaing yang jauh lebih muda dan modal yang lumayan juga bermunculan.
Terakhir ia berdagang nasi uduk dengan beras dua 3 liter per hari, tapi boro-boro dapat untung. Sudah modal terkuras tapi dagangannya kurang laku. Lambat laun modalnya yang sebagian dari pinjam sana-sini akhirnya ludes. Barneh pun jadi putus asa.
Usai berdagang, ia nekad dan banting setir menjadi kuli cuci gosok walau secara jujur ia sudah kehabisan tenaga untuk mengerjakannya. Kemana anak dan mantunya? “Yah, namanya saja punya banyak anak, tapi sehari-harinya saya tetap saja pontang-panting cari makan sendiri,” timpalnya sambil menahan tangis dan mengatupkan kedua tangannya.
Dua tahun lalu, pemilik KTP DKI Jakarta ini masih sanggup mengontrak petakan per bulan Rp200 ribu. Tapi belakangan ia gelagapan untuk tetap bertahan di petakan setengah tembok berukuran 2×4 M2. “Setiap bulan, kepala saya terasa mau pecah begitu ditagih uang sewa rumah.”
Beruntung ia punya anak angkat di Lampung yang justru lebih perhatian. Atas permintaan Barneh, dibuatkanlah ‘istananya’ dari triplek berukuran 1×3 M2 di atas saluran air. Disinilah ia tinggal seorang diri, walau siang hari sejumlah cucu dari beberapa anaknya yang rumahnya di sekitar RW 04 datang bermain sambil membawa sejumlah lauk pauk.
Sedangkan untuk biaya hidup sehari-hari, Barneh kini mengandalkan dari belas kasihan tetangga dengan nyuci gosok berkisar Rp10 ribu hingga Rp15 ribu per hari. Ia makin kebingungan saat sakit karena sampai sekarang tak memiliki Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar