Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Council of People's brothels



Again, embarrassing tantrum in pertontonkan our board members in Senayan, on behalf of their people squandering the state budget on behalf of overseas study tours. Hobbies plesiran our board members really do not berprikemanusian, amid the country's debt reached USD. 1600 trillion (the biggest debt in the history of RI), successive natural disasters hit the country and rising unemployment and poverty, members of the council with a casually spend money on our country.
Throughout the year 2010 the House had made visits to nearly 50 countries on 5 continents, in budget year 2010 budget amounted to USD plesiran Parliament. 7x 162 billion increase compared to the 2005 budget. In addition to the benefits of waste also requests that do not benefit the people, look at how the Forestry Act that would increase our forest bare, Act No. 4 of 2009 on Mining (Mining of minerals and coal) that is more favorable foreign parties, or Law No. 13 regarding the adverse labor workers. But why our lawmakers are not exactly the spirit to create anti-corruption bill, which was expected by these people?
I do not know what is in the minds of members plesiran people representative of the Republic of Indonesia, after a budget of Rp. 15 billion / board member who became a polemic and home renovation budget of Rp. 445 Billion, and the capitol renovation Rp 1.8 trillion which is equivalent to five star hotels in ributkan, now appears more lust lawmakers to spend New Year abroad.
Why should impose a comparative study in the Foreign country, not foreign countries have embassies in Jakarta, is not this era had advanced all the info can be accessed via the Internet (and to what is given a laptop each member of the House), is not a member of our board, aka educated intellectuals, Is not in this country there are so many experts multidisciplinary science that can be requested reference. Then if overseas if that country is really ready to welcome the arrival of members of Parliament, or perhaps this is only a cover-road untukjalan well want to get the benefits out of the country amounted to Rp. 20-28 million / members.


Do not lawmakers see the existing reality, how the fate of millions of children of this nation-luntah terluntah living on the outskirts of the railroad, under under bridges, corner-angle overhang of the store, alongside a river is dirty and filthy, miserable conditions of living with hunger, sweaty sick or dying digubuk-small shack without electricity. Where was the conscience of our people's representatives, representatives of the people that we select with a budget of trillions of rupiah. Or is it jealousy of the Parliament against the government who hooked plesiran overseas?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Nenek 31 Cucu Tinggal di Gubuk Dikepung Gedung Bertingkat


Malang nian nasib Barneh,78. Sejak remaja harus banting tulang demi membantu orangtua. Begitu menikah, langsung ‘putar otak’ dengan ikut bertanggungjawab membantu suami yang berturut-turut lahirlah 10 anak.
Namun ironisnya justru di sisa hidupnya, nenek 31 cucu dan 12 buyut ini tersia-siakan. Sejak setahun, perempuan sepuh dan sakit-sakitan ini terpaksa tinggal di gubuk triplek berukuran 1×3 meter persegi. Itupun gubuknya ‘nangkring’ di atas saluran air akibat makin sulitnya lahan di RT 02/04 Kelurahan Karet Semanggi, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan.
Kondisi Barneh ini sangat kontras mengingat kawasan tempat tinggalnya yang merupakan segi tiga emas Ibukota dengan maraknya gedung bertingkat tinggi mulai perkantoran, pusat perbelanjaan, apartemen hingga hotel bintang lima. Huniannya sekarang seakan dikepung gedung-gedung bertingkat di kawasan itu.
Sebelum suami wafat tahun 1996, Barneh yang hanya mengenyam pendidikan Sekolah Rakyat (SR) tapi tak tamat, sehari-harinya membantu suami dengan berjualan seperti ketupat sayur di lingkungan setempat.


“Namanya saja dagang kecil-kecilan jadi untungnya juga gak seberapa, yang penting anak-anak bisa makan dan sekolah walau sanggupnya hanya SMP,” kenangnya getir saat ditemui di gubuk kayunya yang tercium bau menyengat dari comberan di bawahnya.
Karena anak banyak maklum 10 orang, seberapun yang didapat Barneh dan suami, toh sangat minim untuk menutupi biaya kehidupan sehari-hari. Alhasil meski warga kelahiran Karet Semanggi, tapi seumur-seumur pasangan ini tak sanggup memiliki rumah layaknya pasangan rumah tangga lainnya.
“Bagaimana sanggup beli rumah meski sekelas gubuk, untuk nutupi biaya sehari-hari saja sudah kerepotan,” timpal perempuan bertubuh kurus dan sebagian giginya ompong.
Hidupnya sekeluarga makin melarat saat suami wafat. Sebagian anak yang sekolah terpaksa kandas pendidikannya karena tak ada biaya. Ia pun dituntut harus kerja lebih keras lagi agar anak-anaknya bisa tetap makan dan bertahan hidup di Jakarta.
Tapi tak bisa dipungkiri, usia yang terus menanjak membuat kemampuan fisiknya untuk berdagang juga melorot. Selain itu pesaing yang jauh lebih muda dan modal yang lumayan juga bermunculan.
Terakhir ia berdagang nasi uduk dengan beras dua 3 liter per hari, tapi boro-boro dapat untung. Sudah modal terkuras tapi dagangannya kurang laku. Lambat laun modalnya yang sebagian dari pinjam sana-sini akhirnya ludes. Barneh pun jadi putus asa.
Usai berdagang, ia nekad dan banting setir menjadi kuli cuci gosok walau secara jujur ia sudah kehabisan tenaga untuk mengerjakannya. Kemana anak dan mantunya? “Yah, namanya saja punya banyak anak, tapi sehari-harinya saya tetap saja pontang-panting cari makan sendiri,” timpalnya sambil menahan tangis dan mengatupkan kedua tangannya.
Dua tahun lalu, pemilik KTP DKI Jakarta ini masih sanggup mengontrak petakan per bulan Rp200 ribu. Tapi belakangan ia gelagapan untuk tetap bertahan di petakan setengah tembok berukuran 2×4 M2. “Setiap bulan, kepala saya terasa mau pecah begitu ditagih uang sewa rumah.”
Beruntung ia punya anak angkat di Lampung yang justru lebih perhatian. Atas permintaan Barneh, dibuatkanlah ‘istananya’ dari triplek berukuran 1×3 M2 di atas saluran air. Disinilah ia tinggal seorang diri, walau siang hari sejumlah cucu dari beberapa anaknya yang rumahnya di sekitar RW 04 datang bermain sambil membawa sejumlah lauk pauk.
Sedangkan untuk biaya hidup sehari-hari, Barneh kini mengandalkan dari belas kasihan tetangga dengan nyuci gosok berkisar Rp10 ribu hingga Rp15 ribu per hari. Ia makin kebingungan saat sakit karena sampai sekarang tak memiliki Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Living in the Edge of Sleep Train Rail Must-Empetan annoyed


HIDUP di Jakarta, tak seindah apa yang dibayangkan banyak orang. Apalagi bagi mereka yang tidak mempunyai keterampilan dan kemampuan. Mereka harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan tinggal di sembarang tempat. Seperti Mashudi, 60, dengan istrinya, Maemunah, 50, terpaksa tinggal di pinggiran rel kereta api (KA) dengan beratapkan terpal.
Maemunah mengaku, sejak kawin dengan suaminya sudah tinggal di pinggiran rel KA di Kelurahan Tanah Tinggi, Johar Baru, Jakarta Pusat (Jakpus). “Sudah hampir 20 tahun kali, kami tinggal di sini,” ujarnya, Rabu (9/3) didampingi anaknya Dede, 17 tahun saat ditemui Pos Kota.
Kalau melihat tempat tinggal yang ditempati keluarga ini, tentunya sangat jauh dari pantas dan sehat. Hanya beratapkan terpal yang sudah tua yang di beberapa bagiannya sudah pada sobek. Tidak ada dinding atau tembok yang mengelilinginya, tapi hanya terpal yang sudah lusuh dan sobek dijadikan pembatas. Sehingga kalau ada angin langsung bergoyang-goyang seperti mau roboh dan copot talinya.
Hanya ada satu kasur usang yang warnanya sudah hitam karena dimakan usia. Di bawahnya ditempatkan kotak-kotak kayu sebagai alas kasur untuk tidur keluarga. Kasur tua tersebut digunakan tidur oleh suami istri dan dua anaknya yang masih sekolah.
“Kalau malam, terpaksa saya tidur di tanah dengan menggelar kardus, habis kalau tidur di atas tidak muat,” tambah Dede.
Tidak ada TV atau peralatan elektronik lainnya sebagai hiburan, hanya ada sepeda tua. Lemari juga tidak ada, sehingga untuk menaruh pakaian terpaksa menggunakan gerobag. Beberapa pakaian kotor digantungkan di pagar besi pembatas.
Di tempat itu, Maemunah bersama suami dan empat anaknya terpaksa tinggal. Sehingga untuk tidurpun, mereka harus empet-empetan di atas kasur tua. Nyamuk malampun, sudah tidak dihiraukan justru dianggap sebagai teman tidur. Apalagi kalau hujan di malam hari, terpaksa mereka begadang sambil menahan dinginnya malam.
“Maunya sih ngontrak rumah tapi mahal, daripada buat ngontrak leboh baik buat makan dan sekolah anak,” kata Maemunah yang mengaku punya 10 anak dan lima cucu. Di mana enam diantaranya sudah keluarga dan tinggal empat anak yang ikut bersamanya.
Perempuan asal Brebes, Jawa Tengah ini mengaku hanya berjualan sayuran di pinggiran rel KA. Setiap harinya, rata-rata mendapatkan penghasilan antara Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu. Sedangkan suaminya hanya sopir Bajaj, yang tidak menentu penghasilannya. ”Uang segitu buat makan saja sudah berat, apalagi sekarang apa-apa mahal,” jelasnya.
Belum lagi untuk mandi dan cuci juga harus membayar di tempat pemnadian umum. Termasuk membeli air untuk keperluan masak dan minum. ”Biar cukup kalau masak lauknya ya seadanya, paling tahu dan tempe. Boro-boro daging, tidak mampu membelinya,” katanya sambil tersenyum pahit.
Meski hidup dipinggiran rel KA dan hanya pakai terpal, namun Maemunah dan keluarganya tetap bersyukur. ”Kami tetap ikhlas menjalaninya dan tetap bersyukur, karena semua ini merupakan kehendak dari Allah,” tuturnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

People Suburbs





The other side of life breathe bustle of Jakarta's famous and fashionable metropolis. City that never sleeps there are many immigrants who are not lucky enough to have or rent housing in the appropriate place. They were forced to live in places that was not hers so prone to being evicted if the land they occupy will be used by the owner.
Not a few others who were forced occupy marginal lands such as flood plains of times, green belt, side rails, under the toll road, the swamp, and so forth. In fact, not infrequently also are forced to live in under-under the bridge, which of course is not healthy.
Bridge under Cipinang Indah, East Jakarta, for example, there are three families who occupy a building that is more like a chicken coop. The building was shaped like a rack made ​​from pieces of the rafters with "wall" plywood and cloth banners. Length about 10 meters, and less than two meters wide. Expanse of concrete girder bridge as the roof.
According to locals, the three families that daily work as scavengers. They used to bring the results pulungannya to "hut" and then sort it out. Time Pulungan deemed not sold it and sold just like that.
So what if the water in Kali Sunter ride? They used to "flee" to the village on it, stay home residents or overhang above the bridge.
Kali Sunter long as it's often overflowing. Time that is not how big it could flood if nggilani. For, once a tipped in the region Cimanggis, Depok, that in the rainy season is always cause flooding in areas along the flow, like Pondokgede / Crocodile Hole, Halim, Jatiwaringin, Kampong Makassar, Cipinang Indah, and pondokbambu. After joining the Cipinang time, time that could cause tremendous flooding in Kelapa Gading / Sunter.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Profile
Peace. This is the first time I wrote in the blog. I'm still confused what's going to be written. This blog is designed to menyelesikan task business environment courses at one private university Amikom. And I hope this blog is acceptable dear reader, although many shortcomings and mistakes. Thank you

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS