Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Living in the Edge of Sleep Train Rail Must-Empetan annoyed


HIDUP di Jakarta, tak seindah apa yang dibayangkan banyak orang. Apalagi bagi mereka yang tidak mempunyai keterampilan dan kemampuan. Mereka harus banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup dan tinggal di sembarang tempat. Seperti Mashudi, 60, dengan istrinya, Maemunah, 50, terpaksa tinggal di pinggiran rel kereta api (KA) dengan beratapkan terpal.
Maemunah mengaku, sejak kawin dengan suaminya sudah tinggal di pinggiran rel KA di Kelurahan Tanah Tinggi, Johar Baru, Jakarta Pusat (Jakpus). “Sudah hampir 20 tahun kali, kami tinggal di sini,” ujarnya, Rabu (9/3) didampingi anaknya Dede, 17 tahun saat ditemui Pos Kota.
Kalau melihat tempat tinggal yang ditempati keluarga ini, tentunya sangat jauh dari pantas dan sehat. Hanya beratapkan terpal yang sudah tua yang di beberapa bagiannya sudah pada sobek. Tidak ada dinding atau tembok yang mengelilinginya, tapi hanya terpal yang sudah lusuh dan sobek dijadikan pembatas. Sehingga kalau ada angin langsung bergoyang-goyang seperti mau roboh dan copot talinya.
Hanya ada satu kasur usang yang warnanya sudah hitam karena dimakan usia. Di bawahnya ditempatkan kotak-kotak kayu sebagai alas kasur untuk tidur keluarga. Kasur tua tersebut digunakan tidur oleh suami istri dan dua anaknya yang masih sekolah.
“Kalau malam, terpaksa saya tidur di tanah dengan menggelar kardus, habis kalau tidur di atas tidak muat,” tambah Dede.
Tidak ada TV atau peralatan elektronik lainnya sebagai hiburan, hanya ada sepeda tua. Lemari juga tidak ada, sehingga untuk menaruh pakaian terpaksa menggunakan gerobag. Beberapa pakaian kotor digantungkan di pagar besi pembatas.
Di tempat itu, Maemunah bersama suami dan empat anaknya terpaksa tinggal. Sehingga untuk tidurpun, mereka harus empet-empetan di atas kasur tua. Nyamuk malampun, sudah tidak dihiraukan justru dianggap sebagai teman tidur. Apalagi kalau hujan di malam hari, terpaksa mereka begadang sambil menahan dinginnya malam.
“Maunya sih ngontrak rumah tapi mahal, daripada buat ngontrak leboh baik buat makan dan sekolah anak,” kata Maemunah yang mengaku punya 10 anak dan lima cucu. Di mana enam diantaranya sudah keluarga dan tinggal empat anak yang ikut bersamanya.
Perempuan asal Brebes, Jawa Tengah ini mengaku hanya berjualan sayuran di pinggiran rel KA. Setiap harinya, rata-rata mendapatkan penghasilan antara Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu. Sedangkan suaminya hanya sopir Bajaj, yang tidak menentu penghasilannya. ”Uang segitu buat makan saja sudah berat, apalagi sekarang apa-apa mahal,” jelasnya.
Belum lagi untuk mandi dan cuci juga harus membayar di tempat pemnadian umum. Termasuk membeli air untuk keperluan masak dan minum. ”Biar cukup kalau masak lauknya ya seadanya, paling tahu dan tempe. Boro-boro daging, tidak mampu membelinya,” katanya sambil tersenyum pahit.
Meski hidup dipinggiran rel KA dan hanya pakai terpal, namun Maemunah dan keluarganya tetap bersyukur. ”Kami tetap ikhlas menjalaninya dan tetap bersyukur, karena semua ini merupakan kehendak dari Allah,” tuturnya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar